usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Kamis, 05 November 2015



          Ketika membaca sebuah berita, kita sering kali menemukan sebuah frasa, “Menurut seorang pejabat di lingkungan istana”. Dalam berita lain, muncul frasa yang mirip, “Kata seorang pegawai lain di KPK”. Kedua frasa ini menunjukkan bahwa narasumber yang memberikan keterangan kepada wartawan tidak mau mengungkapkan jati dirinya. Narasumber seperti ini lebih populer disebut sebagai narasumber rahasia.

          Jurnalisme membenarkan pemakaian narasumber rahasia. Jurnalisme juga menentang setiap pihak yang berusaha mengungkapkan narasumber rahasia. Namun, jurnalisme punya istilah sendiri bagi praktik jurnalisme yang membayar narasumber rahasia, yakni jurnalisme cek (chequebook journalism). Dalam konteks ini, sebuah media pers “menanam” seseorang (Mr. X) di sebuah lembaga atau instansi pemerintah. Ia membayar Mr. X secara rutin menurut periodisitas yang sudah disepakati. Ketika ada informasi terbaru menyangkut kejadian penting di lembaga atau instansi tersebut, media pers bersangkutan tinggal menghubungi Mr. X. Maka jadilah Mr. X sebagai narasumber rahasia.

Sampai di sini tentu muncul pertanyaan, apakah jurnalisme cek itu sah? Jawabannya, tentu saja sah. Jawaban ini menimbulkan pertanyaan berikutnya, apakah jurnalisme cek ini dibenarkan? Jawabannya bisa bermacam-macam. Bagi yang concern pada etika jurnalistik, mereka akan mengatakan bahwa jurnalisme cek tidak bisa dibenarkan. Soalnya, tidak ada jaminan narasumber rahasia itu berkata jujur. Bisa saja karena sudah dibayar, dia terpaksa berbohong. Namun, bagi yang mengutamakan kecepatan berita, mereka akan mengatakan bahwa jurnalisme cek bisa dibenarkan. Soalnya, kecepatan pemberitaan akan sangat bermanfaat bagi khalayak untuk membantu mereka mengambil keputusan.

Kenyataan ini membuat kita bertanya-tanya, penting mana kepatuhan terhadap etika jurnalistik atau kecepatan pemberitaan? Kalau pertanyaan ini dialamatkan kepada media pers, agaknya jawabannya sangat tegas: kecepatan pemberitaan. Jawaban ini terasa logis, karena kecepatan pemberitaan berkaitan dengan banyak hal, mulai dari persaingan antar media pers, eksistensi media pers di tengah-tengah khalayak sampai pada posisi media pers di kalangan narasumber biasa. Apakah ini berarti etika jurnalistik harus ditinggalkan?

Biarlah media pers yang menjawabnya.***
Rejodani, 1 November 2015


0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.