Ketika membaca
sebuah berita, kita sering kali menemukan sebuah frasa, “Menurut seorang
pejabat di lingkungan istana”. Dalam berita lain, muncul frasa yang mirip,
“Kata seorang pegawai lain di KPK”. Kedua frasa ini menunjukkan bahwa
narasumber yang memberikan keterangan kepada wartawan tidak mau mengungkapkan
jati dirinya. Narasumber seperti ini lebih populer disebut sebagai narasumber rahasia.
Jurnalisme
membenarkan pemakaian narasumber rahasia. Jurnalisme juga menentang setiap
pihak yang berusaha mengungkapkan narasumber rahasia. Namun, jurnalisme punya
istilah sendiri bagi praktik jurnalisme yang membayar narasumber rahasia, yakni
jurnalisme cek (chequebook journalism).
Dalam konteks ini, sebuah media pers “menanam” seseorang (Mr. X) di sebuah
lembaga atau instansi pemerintah. Ia membayar Mr. X secara rutin menurut periodisitas
yang sudah disepakati. Ketika ada informasi terbaru menyangkut kejadian penting
di lembaga atau instansi tersebut, media pers bersangkutan tinggal menghubungi
Mr. X. Maka jadilah Mr. X sebagai narasumber rahasia.
Sampai di sini tentu muncul pertanyaan, apakah
jurnalisme cek itu sah? Jawabannya, tentu saja sah. Jawaban ini menimbulkan
pertanyaan berikutnya, apakah jurnalisme cek ini dibenarkan? Jawabannya bisa
bermacam-macam. Bagi yang concern
pada etika jurnalistik, mereka akan mengatakan bahwa jurnalisme cek tidak bisa
dibenarkan. Soalnya, tidak ada jaminan narasumber rahasia itu berkata jujur.
Bisa saja karena sudah dibayar, dia terpaksa berbohong. Namun, bagi yang
mengutamakan kecepatan berita, mereka akan mengatakan bahwa jurnalisme cek bisa
dibenarkan. Soalnya, kecepatan pemberitaan akan sangat bermanfaat bagi khalayak
untuk membantu mereka mengambil keputusan.
Kenyataan ini membuat kita bertanya-tanya,
penting mana kepatuhan terhadap etika jurnalistik atau kecepatan pemberitaan?
Kalau pertanyaan ini dialamatkan kepada media pers, agaknya jawabannya sangat tegas:
kecepatan pemberitaan. Jawaban ini terasa logis, karena kecepatan pemberitaan
berkaitan dengan banyak hal, mulai dari persaingan antar media pers, eksistensi
media pers di tengah-tengah khalayak sampai pada posisi media pers di kalangan
narasumber biasa. Apakah ini berarti etika jurnalistik harus ditinggalkan?
Biarlah media pers yang menjawabnya.***
Rejodani, 1 November
2015
0 komentar:
Posting Komentar