usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Jumat, 16 Oktober 2015


          Pada 30 Maret 2014, Parni Hadi meluncurkan buku berjudul Jurnalisme Profetik. Dalam berita tentang peluncuran buku itu, yang disiarkan Republika.co.id, disebutkan bahwa fungsi jurnalisme profetik antara lain: (i) memberi informasi, (ii) mendidik, (iii) menghibur, (iv) mengadvokasi, (v) mencerahkan, dan (vi) memberdayakan publik. “Agar fungsi itu bisa terwujud, diperlukan persyaratan-persayaratan berikut: 1) kebebasan, agar ada 2) independensi, untuk menampilkan 3) kebenaran, guna mewujudkan 4) keadilan, demi 5) kesejahteraan, agar tercipta 6) perdamaian bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin)”, tambah berita yang berjudul “Parni Hadi Luncurkan Buku Jurnalisme Profetik” itu (http://www.republika.co.id/berita/senggang/sosok/14/03/31/n3au7w-parni-hadi luncurkan-buku-jurnalisme-profetik, diakses 11 Oktober 2015).

          Dalam bagian lain, kutipan berita itu menyebutkan bahwa jurnalisme profetik juga menganjurkan sesuatu di luar dunia tulis-menulis dan penyiaran (beyond call of journalism), yakni berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk publik: aksi kepedulian sosial. Ia telah mencoba melakukan keduanya: dakwah lewat informasi (bil qalam) dan dakwah lewat aksi (bil hal). 

          Sampai di sini timbul pertanyaan, bagaimana cara kerja jurnalisme profetik? Setiap jurnalisme berurusan dengan berita. Setiap berita harus memuat fakta. Tetapi, tidak setiap fakta harus menjadi berita. Lihatlah, betapa banyaknya fakta yang kemudian dikumpulkan dan ditulis menjadi skripsi, tesis, dan disertasi. Maka, jurnalisme profetik harus bisa diturunkan menjadi paling tidak satu dari keempat teknik, yakni teknik mengumpulkan fakta, teknik mem-framing berita, teknik menulis berita, dan teknik menyunting berita.

          Melihat pengertian jurnalisme profetik yang diperkenalkan Parni Hadi, agaknya dia menjadikan sastra profetik sebagai salah satu acuan. Sastra profetik, kata Kuntowijoyo, dalam buku Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur, memiliki tiga kaidah, yakni: epistemologi strukturalisme transendental, sastra sebagai ibadah, dan keterkaitan antar kesadaran (hal. 10-16). Dalam konteks epistemologi strukturalisme transendental, sastra profetik melampaui keterbatasan akal pikiran manusia dan mencapai pengetahuan yang lebih tinggi. Dalam hubungannya dengan sastra sebagai ibadah, sastra profetik harus bisa membebaskan. Sedangkan, dalam kaitannya dengan keterkaitan dengan antar kesadaran,  sastra profetik harus memperluas ruang batin, menggugah kesadaran ketuhanan dan kesadaran kemanusiaan. 

          Mengapa harus ada sastra profetik? Jawaban Kuntowijoyo, dalam buku yang sama, sangat tegas:  untuk meningkatkan kualitas sastra Indonesia, supaya sastra lebih berperan dalam masyarakat (hal. 39). Mengapa harus ada jurnalisme profetik? Jawabannya bisa dipinjam dari jawaban Kuntowijoyo di atas: untuk meningkatkan kualitas jurnalisme, supaya jurnalisme lebih berperan dalam masyarakat. Sebuah jawaban yang sangat mulia. 

          Namun, sastra berbeda dengan jurnalisme. Informasi yang terkandung dalam sastra tergolong fiksi. Sementara informasi yang terkandung dalam berita yang dihasilkan jurnalisme merupakan fakta. Kita tidak bisa memperlakukan fakta seperti memperlakukan fiksi dalam sastra profetik untuk mempraktikkan jurnalisme profetik. Maka, istilah jurnalisme profetik perlu ditinjau ulang. Apalagi katalog jurnalisme yang universal belum memuat istilah jurnalisme profetik.*** 

Rejodani, 15 Oktober 2015

1 komentar:

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.