Pada 30 Maret
2014, Parni Hadi meluncurkan buku berjudul Jurnalisme
Profetik. Dalam berita tentang peluncuran buku itu, yang disiarkan Republika.co.id, disebutkan bahwa fungsi
jurnalisme profetik antara lain: (i) memberi informasi, (ii) mendidik, (iii)
menghibur, (iv) mengadvokasi, (v) mencerahkan, dan (vi) memberdayakan publik. “Agar
fungsi itu bisa terwujud, diperlukan persyaratan-persayaratan berikut: 1)
kebebasan, agar ada 2) independensi, untuk menampilkan 3) kebenaran, guna
mewujudkan 4) keadilan, demi 5) kesejahteraan, agar tercipta 6) perdamaian bagi
seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin)”,
tambah berita yang berjudul “Parni Hadi Luncurkan Buku Jurnalisme Profetik” itu
(http://www.republika.co.id/berita/senggang/sosok/14/03/31/n3au7w-parni-hadi
luncurkan-buku-jurnalisme-profetik, diakses 11 Oktober 2015).
Dalam bagian
lain, kutipan berita itu menyebutkan bahwa jurnalisme profetik juga
menganjurkan sesuatu di luar dunia tulis-menulis dan penyiaran (beyond call of journalism), yakni
berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk publik: aksi kepedulian sosial. Ia telah
mencoba melakukan keduanya: dakwah lewat informasi (bil qalam) dan dakwah lewat aksi (bil hal).
Sampai di sini
timbul pertanyaan, bagaimana cara kerja jurnalisme profetik? Setiap jurnalisme
berurusan dengan berita. Setiap berita harus memuat fakta. Tetapi, tidak setiap
fakta harus menjadi berita. Lihatlah, betapa banyaknya fakta yang kemudian
dikumpulkan dan ditulis menjadi skripsi, tesis, dan disertasi. Maka, jurnalisme
profetik harus bisa diturunkan menjadi paling tidak satu dari keempat teknik,
yakni teknik mengumpulkan fakta, teknik mem-framing
berita, teknik menulis berita, dan teknik menyunting berita.
Melihat
pengertian jurnalisme profetik yang diperkenalkan Parni Hadi, agaknya dia
menjadikan sastra profetik sebagai salah satu acuan. Sastra profetik, kata
Kuntowijoyo, dalam buku Maklumat Sastra
Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur, memiliki tiga kaidah, yakni: epistemologi
strukturalisme transendental, sastra sebagai ibadah, dan keterkaitan antar
kesadaran (hal. 10-16). Dalam konteks epistemologi strukturalisme
transendental, sastra profetik melampaui keterbatasan akal pikiran manusia dan
mencapai pengetahuan yang lebih tinggi. Dalam hubungannya dengan sastra sebagai
ibadah, sastra profetik harus bisa membebaskan. Sedangkan, dalam kaitannya
dengan keterkaitan dengan antar kesadaran,
sastra profetik harus memperluas ruang batin, menggugah kesadaran
ketuhanan dan kesadaran kemanusiaan.
Mengapa harus
ada sastra profetik? Jawaban Kuntowijoyo, dalam buku yang sama, sangat
tegas: untuk meningkatkan kualitas
sastra Indonesia, supaya sastra lebih berperan dalam masyarakat (hal. 39).
Mengapa harus ada jurnalisme profetik? Jawabannya bisa dipinjam dari jawaban Kuntowijoyo
di atas: untuk meningkatkan kualitas jurnalisme, supaya jurnalisme lebih
berperan dalam masyarakat. Sebuah jawaban yang sangat mulia.
Namun, sastra
berbeda dengan jurnalisme. Informasi yang terkandung dalam sastra tergolong
fiksi. Sementara informasi yang terkandung dalam berita yang dihasilkan
jurnalisme merupakan fakta. Kita tidak bisa memperlakukan fakta seperti
memperlakukan fiksi dalam sastra profetik untuk mempraktikkan jurnalisme
profetik. Maka, istilah jurnalisme profetik perlu ditinjau ulang. Apalagi katalog
jurnalisme yang universal belum memuat istilah jurnalisme profetik.***
Rejodani, 15 Oktober
2015
dimana ya bisa dapet bukunya?
BalasHapus