usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Rabu, 15 Juli 2015


Penetapan tersangka dua pimpinan Komisi Yudisial sumir

Fransisco Rosarians



JAKARTA—Komisi Yudisial menganggap kepolisian mengabaikan konstitusi dalam menetapkan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki dan Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Taufiqurrahman Syahuri sebagai tersangka pencemaran nama hakim Sarpin Rizaldi. Alasannya, kedua pimpinan Komisi Yudisial tersebut hanya menjalankan amanah konstitusi.
“Sangat sumir menurut kami,” kata juru bicara dan Ketua Bidang Hubungan Antarlembaga, Imam Anshori Saleh, kemarin. “Keduanya mengomentari putusan hakim, bukan Sarpin Rizaldi sebagai pribadi, kenapa mesti tersinggung?”
Imam mengatakan, Suparman dan Taufiqurrahman hanya menjalankan tugas dan wewenang lembaganya dalam mengawasi martabat hakim. Wewenang tersebut diatur oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial. Keberadaan undang-undang  ini merupakan amanah Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945.
Badan Reserse pekan lalu menetapkan dua pemimpin Komisi Yudisial tersebut sebagai tersangka pencemaran nama setelah gelar perkara terhadap hasil pemeriksaan seluruh saksi dan ahli bahasa. “Unsurnya sudah terpenuhi semua, kami naikkan jadi tersangka,” kata Budi.
Penetapan tersangka ini merupakan tindak lanjut dari laporan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi, atas pernyataan Taufiqurrahman dan Suparman yang dimuat di sejumlah media massa. Keduanya mengomentari putusan praperadilan penetapan tersangka terhadap Komisaris Jenderal Budi Gunawan.
Namun Komisi Yudisial hingga kini belum mengetahui detil kesalahan dan tuduhan penyidik. Lembaga pengawas perilaku hakim ini menganggap tak satu pun kalimat  yang terlontar dari kedua pemimpin tersebut mencemooh ataupun mengarah ke pribadi Sarpin, tapi pada vonis hakim sebagai produk Negara. “Tak ada legal standing pelaporan itu,” ucapnya. “Saya hanya mengatakan putusan Sarpin melebihi KUHAP, kontroversial, dan tak lazim. Itu semua putusan dan sesuai kenyataan.”
Imam mengatakan kedua pemimpin itu belum akan memenuhi panggilan sebagai tersangka pada hari ini. Kegiatan kedua pemimpin sebagai komisioner padat hingga perayaan Idul Fitri. Keduanya akan memenuhi panggilan seusai Idul Fitri. “Bukan tidak taat, tapi karena ada banyak hal yang tak bisa diganti begitu saja,” kata Imam.
Kuasa hukum Sarpin, Dion Ponkor, menuding dua pemimpin Komisi Yudisial tak memberikan contoh baik pada ketaatan hukum jika mangkir. Kesalahan keduanya dianggap jelas. “Kami ingin proses ini cepat,” ucapnya. “Mereka bisa tak datang, asalkan sesuai aturan, yaitu sakit atau dinas.”
Mahkamah Agung enggan menanggapi masalah ini dengan dalih urusan Sarpin sebagai pribadi. Tapi juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, menyatakan Taufiqurrahman dan Suparman melanggar kerahasiaan laporan masyarakat sebelum putusan pleno. “Kemarin kan belum apa-apa KY sudah bilang kalau Sarpin punya laporan delapan,” ujarnya. “Padahal Sarpin sudah menerima surat dari KY kalau dia dinyatakan clear.”
Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Peradilan menganggap kasus ini sebagai kriminalisasi yang mengancam pelaksanaan tugas dan kewenangan seluruh lembaga pengawas. “Jika memang ada yang salah dengan komentar mereka, jatuhnya pelanggaran etik,” kata anggota koalisi, Dio Ashar Wicaksana. (Dewi Suci Mandiri).
Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo, 13 Juli 2015. Berita ini melahirkan pertanyaan: Apakah soal penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK beberapa waktu yang lalu belum juga “selesai”? Kini Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri seolah-olah membalas budi baik Hakim Sarpin yang sudah memenangkan Budi Gunawan dalam sidang praperadilan melawan KPK. Bagi Bareskrim Polri, seakan-akan muncul ide: siapa pun yang mengecam keras hakim Sarpin akan ditetapkannya sebagai tersangka. Bareskrim Polri tidak peduli apakah kecaman itu dilakukan orang dalam rangka melaksanakan tugas konstitusionalnya. Akibatnya, dua pejabat Komisi Yudisial (KY), Suparman Marzuki dan Taufiqurrahman Syahuri menjadi tersangka pencemaran nama baik.
Khalayak mempertanyakan mengapa Suparman Marzuki dan Taufiqurrahman Syahuri menjadi tersangka. Koran Tempo 13 Juli 2015, malah menulis editorial dengan judul “Kenapa Suparman dan Taufiqurrahman Harus Tersangka”. Pertanyaan ini, idealnya, membuat Bareskrim Polri meninjau ulang keputusunnya. Kalau tidak, bukan mustahil citra Polri akan semakin buruk di mata khalayak.***
Rejodani, 15 Juli 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.