Penetapan tersangka dua pimpinan Komisi
Yudisial sumir
Fransisco Rosarians
JAKARTA—Komisi Yudisial menganggap kepolisian
mengabaikan konstitusi dalam menetapkan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki
dan Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Taufiqurrahman Syahuri sebagai tersangka
pencemaran nama hakim Sarpin Rizaldi. Alasannya, kedua pimpinan Komisi Yudisial
tersebut hanya menjalankan amanah konstitusi.
“Sangat sumir menurut kami,” kata
juru bicara dan Ketua Bidang Hubungan Antarlembaga, Imam Anshori Saleh,
kemarin. “Keduanya mengomentari putusan hakim, bukan Sarpin Rizaldi sebagai
pribadi, kenapa mesti tersinggung?”
Imam mengatakan, Suparman dan Taufiqurrahman
hanya menjalankan tugas dan wewenang lembaganya dalam mengawasi martabat hakim.
Wewenang tersebut diatur oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi
Yudisial. Keberadaan undang-undang ini
merupakan amanah Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945.
Badan Reserse pekan lalu
menetapkan dua pemimpin Komisi Yudisial tersebut sebagai tersangka pencemaran
nama setelah gelar perkara terhadap hasil pemeriksaan seluruh saksi dan ahli
bahasa. “Unsurnya sudah terpenuhi semua, kami naikkan jadi tersangka,” kata
Budi.
Penetapan tersangka ini merupakan
tindak lanjut dari laporan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sarpin
Rizaldi, atas pernyataan Taufiqurrahman dan Suparman yang dimuat di sejumlah
media massa. Keduanya mengomentari putusan praperadilan penetapan tersangka
terhadap Komisaris Jenderal Budi Gunawan.
Namun Komisi Yudisial hingga kini
belum mengetahui detil kesalahan dan tuduhan penyidik. Lembaga pengawas
perilaku hakim ini menganggap tak satu pun kalimat yang terlontar dari kedua pemimpin tersebut
mencemooh ataupun mengarah ke pribadi Sarpin, tapi pada vonis hakim sebagai
produk Negara. “Tak ada legal standing pelaporan itu,” ucapnya. “Saya
hanya mengatakan putusan Sarpin melebihi KUHAP, kontroversial, dan tak lazim.
Itu semua putusan dan sesuai kenyataan.”
Imam mengatakan kedua pemimpin
itu belum akan memenuhi panggilan sebagai tersangka pada hari ini. Kegiatan
kedua pemimpin sebagai komisioner padat hingga perayaan Idul Fitri. Keduanya
akan memenuhi panggilan seusai Idul Fitri. “Bukan tidak taat, tapi karena ada
banyak hal yang tak bisa diganti begitu saja,” kata Imam.
Kuasa hukum Sarpin, Dion Ponkor,
menuding dua pemimpin Komisi Yudisial tak memberikan contoh baik pada ketaatan
hukum jika mangkir. Kesalahan keduanya dianggap jelas. “Kami ingin proses ini
cepat,” ucapnya. “Mereka bisa tak datang, asalkan sesuai aturan, yaitu sakit
atau dinas.”
Mahkamah Agung enggan menanggapi
masalah ini dengan dalih urusan Sarpin sebagai pribadi. Tapi juru bicara Mahkamah
Agung, Suhadi, menyatakan Taufiqurrahman dan Suparman melanggar kerahasiaan
laporan masyarakat sebelum putusan pleno. “Kemarin kan belum apa-apa KY sudah
bilang kalau Sarpin punya laporan delapan,” ujarnya. “Padahal Sarpin sudah
menerima surat dari KY kalau dia dinyatakan clear.”
Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau
Peradilan menganggap kasus ini sebagai kriminalisasi yang mengancam pelaksanaan
tugas dan kewenangan seluruh lembaga pengawas. “Jika memang ada yang salah
dengan komentar mereka, jatuhnya pelanggaran etik,” kata anggota koalisi, Dio
Ashar Wicaksana. (Dewi Suci Mandiri).
Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo, 13 Juli 2015. Berita ini melahirkan pertanyaan:
Apakah soal penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK beberapa waktu
yang lalu belum juga “selesai”? Kini Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri
seolah-olah membalas budi baik Hakim Sarpin yang sudah memenangkan Budi Gunawan
dalam sidang praperadilan melawan KPK. Bagi Bareskrim Polri, seakan-akan muncul
ide: siapa pun yang mengecam keras hakim Sarpin akan ditetapkannya sebagai
tersangka. Bareskrim Polri tidak peduli apakah kecaman itu dilakukan orang dalam
rangka melaksanakan tugas konstitusionalnya. Akibatnya, dua pejabat Komisi
Yudisial (KY), Suparman
Marzuki dan Taufiqurrahman Syahuri menjadi tersangka
pencemaran nama baik.
Khalayak mempertanyakan mengapa Suparman
Marzuki dan Taufiqurrahman Syahuri menjadi
tersangka. Koran Tempo 13 Juli 2015,
malah menulis editorial dengan judul “Kenapa Suparman dan Taufiqurrahman Harus
Tersangka”. Pertanyaan ini, idealnya, membuat Bareskrim Polri meninjau ulang
keputusunnya. Kalau tidak, bukan mustahil citra Polri akan semakin buruk di
mata khalayak.***
Rejodani,
15 Juli 2015
0 komentar:
Posting Komentar