usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Rabu, 15 Juli 2015

Sesungguhnya jurnalisme multiplatform merupakan konsekuensi logis dari kelahiran media multiplatform. Media multiplatform merupakan konsekuensi logis pula dari peningkatan jumlah pengakses internet di Indonesia. Dengan demikian, kelahiran jurnalisme multiplatform merupakan hal yang wajar.
 Menilik perkembangan media di Indonesia, sesungguhnya Indonesia sudah mempraktikkan konvergensi media. Bagi pengusaha media Indonesia sekarang, konvergensi media malah sudah menjadi sebuah keniscayaan. Lihatlah, berbagai media sudah mentransformasikan newsroom-nya untuk dipakai beramai-ramai oleh media massa (surat kabar, televisi, dan radio) serta media baru (media online). Mereka sudah mendidik wartawan mereka menjadi wartawan multimedia. Dengan demikian, wartawan sekarang harus pandai menulis, cakap tampil di radio dan televisi, serta mahir memberdayakan sumber daya dalam internet.
Membayangkan pekerjaan seperti ini, tentu saja kita akan mengatakan bahwa wartawan multimedia selalu harus bekerja keras. Betapa tidak, pada saat hampir bersamaan seluruh berita tentang peristiwa/ide harus disampaikan kepada redaksi semua media. Mereka nyaris tanpa jeda.
Agar wartawan tidak terlalu repot, mereka harus memiliki keterampilan jurnalisme multiplatform. Mereka mengumpulkan fakta dan menulisnya menjadi berita bukan hanya untuk surat kabar saja. Mereka harus bisa pula menulis berita untuk radio, televisi, dan media online. Mereka harus bisa mengambil gambar video untuk berita televisi. Mereka harus bisa pula menulis berita untuk media online. Tegasnya, mereka harus memiliki kemampuan yang komplit: meliput, memotret, menulis, melaporkan secara live, merekam gambar, dan memberdayakan sumber daya internet. Kemampuan inilah yang sering kali disebut multitasking.
 Khusus untuk media online, Thamzil Thahir menuliskan petuahnya tentang kemampuan wartawan dalam makalah berjudul Teknik Peliputan dan Penyajian Berita Online sebagai berikut:
Jika di media konvensional jurnalisme mengandalkan 5W + 1H, maka di media online jurnalis butuh 3 tools tambahan, atau alat pelacak berita tambahan. Kami di Tribun, menyebutkanya dengan 3 What: What happens (apa yang sesungguhnya terjadi), What is that mean to me (apa artinya bagi saya) dan What should I do (apa yang harus saya perbuat).

          Kutipan ini menunjukkan bahwa dalam media online wartawan harus juga memposisikan dirinya sebagai khalayak. Mereka harus bisa berempati dengan keadaan khalayak dan melibatkan partisipasi khalayak sebanyak mungkin. Yang terakhir ini, tentu saja, tidak mudah. Namun, ia tetap saja melengkapi tujuan utama jurnalisme multiplatform, yakni kemampuan multitasking.*** 
Rejodani, 15 Juli 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.