Sesungguhnya jurnalisme multiplatform merupakan konsekuensi
logis dari kelahiran media multiplatform.
Media multiplatform merupakan
konsekuensi logis pula dari peningkatan jumlah pengakses internet di Indonesia.
Dengan demikian, kelahiran jurnalisme multiplatform
merupakan hal yang wajar.
Menilik perkembangan media di Indonesia,
sesungguhnya Indonesia sudah mempraktikkan konvergensi media. Bagi pengusaha
media Indonesia sekarang, konvergensi media malah sudah menjadi sebuah
keniscayaan. Lihatlah, berbagai media sudah mentransformasikan newsroom-nya untuk dipakai beramai-ramai
oleh media massa (surat kabar, televisi, dan radio) serta media baru (media online). Mereka sudah mendidik
wartawan mereka menjadi wartawan multimedia. Dengan demikian, wartawan sekarang
harus pandai menulis, cakap tampil di radio dan televisi, serta mahir
memberdayakan sumber daya dalam internet.
Membayangkan pekerjaan seperti
ini, tentu saja kita akan mengatakan bahwa wartawan multimedia selalu harus
bekerja keras. Betapa tidak, pada saat hampir bersamaan seluruh berita tentang peristiwa/ide
harus disampaikan kepada redaksi semua media. Mereka nyaris tanpa jeda.
Agar wartawan tidak terlalu
repot, mereka harus memiliki keterampilan jurnalisme multiplatform. Mereka mengumpulkan fakta dan menulisnya menjadi
berita bukan hanya untuk surat kabar saja. Mereka harus bisa pula menulis
berita untuk radio, televisi, dan media online.
Mereka harus bisa mengambil gambar video untuk berita televisi. Mereka harus
bisa pula menulis berita untuk media online.
Tegasnya, mereka harus memiliki kemampuan yang komplit: meliput, memotret,
menulis, melaporkan secara live,
merekam gambar, dan memberdayakan sumber daya internet. Kemampuan inilah yang
sering kali disebut multitasking.
Khusus untuk media online, Thamzil Thahir menuliskan petuahnya tentang kemampuan
wartawan dalam makalah berjudul Teknik
Peliputan dan Penyajian Berita Online sebagai berikut:
Jika di media konvensional jurnalisme mengandalkan 5W + 1H, maka di media online jurnalis butuh 3 tools tambahan, atau alat pelacak berita tambahan. Kami di Tribun, menyebutkanya dengan 3 What: What happens (apa yang sesungguhnya terjadi), What is that mean to me (apa artinya bagi saya) dan What should I do (apa yang harus saya perbuat).
Kutipan
ini menunjukkan bahwa dalam media online
wartawan harus juga memposisikan dirinya sebagai khalayak. Mereka harus bisa
berempati dengan keadaan khalayak dan melibatkan partisipasi khalayak sebanyak
mungkin. Yang terakhir ini, tentu saja, tidak mudah. Namun, ia tetap saja melengkapi
tujuan utama jurnalisme multiplatform,
yakni kemampuan multitasking.***
Rejodani,
15 Juli 2015
0 komentar:
Posting Komentar