Kenaikan
dana partai tidak relevan dengan upaya pencegahan korupsi.
Mahardika Satria Hadi
JAKARTA—Presiden Joko Widodo mendukung
keputusan Kementerian Dalam Negeri membatalkan kenaikan dana bantuan partai
politik. Pelaksana tugas Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik
Kementerian Dalam Negeri, Indra Baskoro, mengatakan rencana melipatgandakan
dana partai urung dilakukan karena tak sesuai dengan kondisi perekonomian
Indonesia saat ini.
“Setelah berdiskusi dengan
Presiden dan Wakil Presiden, kami memutuskan tidak melanjutkannya,” kata Indra
saat dihubungi, kemarin. “Presiden juga sudah setuju dengan penolakan itu
karena memang tidak sesuai.”
Indra membenarkan bahwa
kementeriannya telah menyerahkan draf usulan dana partai yang terbaru kepada
Jokowi. Namun, usulan itu terpaksa ditunda sampai keadaan ekonomi Indonesia
membaik. “Besaran dana dari negara yang hanya diberikan untuk parpol akan
menimbulkan kesenjangan bagi masyarakat,” ujarnya.
Sabtu lalu, Menteri Dalam Negeri
Tjahjo Kumolo membatalkan usulan kenaikan dana partai. Padahal sebelumnya
Tjahjo yang berinisiatif menambah dana partai sebesar 10 kali lipat untuk
mencegah potensi korupsi yang dilakukan para kader partai. “Kalau perlu, pemerintah
mendanai seluruh parpol, baik untuk operasional, kaderisasi, maupun persiapan
memasuki pemilu,” katanya, pekan lalu.
Sejumlah petinggi partai
menanggapi beragam pembatalan kenaikan dana parpol tersebut. Ketua Dewan
Pimpinan Pusat Partai Demikrasi Indonesia Perjuangan, Komarudin Watubun,
misalnya, mengatakan dana partai diperlukan dalam negara demokrasi. “Partai
adalah bagian dari republik. Memang sudah sepatutnya dibiayai negara,” ujarnya,
kemarin.
Sedangkan Partai Gerakan
Indonesia Raya (Gerindra)—partai yang menjadi motor koalisi nonpemerintah—tak
ambil pusing oleh pembatalan tambahan dana partai. “Dinaikkan silakan, tidak
pun tak masalah,” kata Sekretaris
Jenderal Partai Gerindra, Ahmad Muzani. Menurut dia, selama ini Gerindra
tak pernah menggantungkan sumber pendanaan dari sumbangan pemerintah. “Sumber
internal kami jauh lebih kuat.”
Peneliti dari Indonesia Budget
Center, Roy Salam, mengatakan kenaikan dana partai tidak relevan dengan upaya
pencegahan korupsi. Sebab, menurut dia, tata kelola keuangan di internal partai
selama ini juga kurang baik. “Mereka tak transparan dengan sistem keuangan
sendiri.” (Reza Aditya/Indri Maulidar/Indra Wijaya/Faiz Nasrillah.
Demikianlah
berita yang disiarkan Koran Tempo, 29
Juni 2015. Kita lega mendengar respons pemerintah terhadap usulan kenaikan dana
partai dari pemerintah. Soalnya, kondisi ekonomi Indonesia lagi terpuruk. Kita
tidak tahu persis kapan kondisi ekonomi Indonesia ini akan membaik.
Namun, kita juga
tidak tahu persis mengapa Menteri Dalam Negeri mengusulkan kenaikan dana partai
dari pemerintah. Apalagi jika dikaitkan dengan pencegahan korupsi. Sekalipun
dana partai sudah banyak, kalau elit partainya tidak bermoral, tetap saja akan
terjadi korupsi. Jadi, sulit membayangkan dana partai yang besar dari
pemerintah akan menyebabkan korupsi elite partai berkurang.
Kalau kita mau
jujur, dengan adanya elit partai yang duduk di dalam kabinet kerja Presiden
Jokowi, tanda-tanda korupsi itu sudah mulai tampak. Misalnya, dengan menempatkan
orang partai sebagai staf ahli menteri. Lewat kegiatan yang dirancang oleh staf
ahli ini, partai memperoleh fee dari
kegiatan tersebut. Lucu juga rasanya mendengar elit partai yang mengatakan
tidak memperoleh dana dari pemerintah.
Namun, dalam
berurusan dengan partai politik, tidak ada yang transparan dan jujur. Para elit
partai politik selalu berusaha menyembunyikan rahasia tentang apa saja yang
menyangkut partainya. Lebih dari itu, mereka punya kuasa wicara. Jadi, kita
sebagai masyarakat tidak akan pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada
partai politik.***
Rejodani, 30 Juni 2015
0 komentar:
Posting Komentar